Seperti yang kita ketahui praperadilan adalah berwenang Pengadilan Negeri untuk pemeriksaan dan memutuskan tentang:
- a) Sah tidaknya pengambilan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegakannya hukum dan keadilan;
- b) Sah tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan; dan
- c) Permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.
Hal mana tentang Praperadilan tersebut secara limitatif diatur dalam pasal 77 sampai pasal 83 Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang KUHAP. Sebenarnya upaya pra-peradilan tidak hanya sebatas itu, karena hukum ketentuan yang mengatur tentang pra-keadilan tentang masalah ini juga tentang ganti kerugian termasuk kerugian akibat adanya “tindakan lain” yang di dalam penjelasan pasal 95 ayat (1) KUHAP ditegaskan kerugian yang timbul akibat tindakan lain yaitu, kerugian yang timbul akibat pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.
Sehingga dalam konteks ini pra-peradilan diaturnya diatur dalam pasal 1 butir 10 KUHAP Jo. Pasal 77 s / d 83 dan pasal 95 s / d 97 KUHAP, pasal 1 butir 16 Jo. Pasal 38 s / d 46, pasal 47 s / d 49 dan pasal 128 s / d 132 KUHAP.
Dalam konteks ini pra peradilan tidak hanya mengandalkan sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, atau tentang sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan, atau tentang permintaan ganti rugi atau rehabilitasi, akan tetapi upaya pra-pradilan dapat juga dilakukan terhadap adanya kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat pembuktian, atau seseorang yang dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. (Vide: Keputusan Menkeh RI No.:M.01.PW.07.03 tahun 1982), atau adanya tindakan tindakan lain yang menimbulkan kerugian sebagai akibat pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.
Sejauh ini yang kita kenal pra-peradilan sering dilakukan oleh tersangka atau keluarga tersangka kuasa hukumnya dengan cara melakukan Gugatan / Permohonan Praperadilan terhadap pihak Kepolisian atau terhadap pihak Kejaksaan ke Pengadilan Negeri setempat, yang substansi gugatannya mempersoalkan tentang sah tidaknya penangkapan atau sah tidaknya penahanan atau tentang sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Namun, keadilan secara hukum dapat juga dilakukan pihak Kepolisian terhadap pihak Kejaksaan, begitu juga sebaliknya. Perlu diketahui bahwa pasal 77 s / d pasal 83 KUHAP yang membina Praperadilan tidak hanya memberikan hak kepada tersangka atau keluarganya untuk mempraperadilankan Kepolisian dan Kejaksaan, namun pasal tersebut juga memberi hak kepada Kepolisian untuk mempraperadilankan Kejaksaan dan memberi hak kepada Kejaksaan untuk mempraperadilankan Kepolisian.
Praperadilan adalah hal yang biasa dalam membangun saling kontrol antara Kepolisian, Kejaksaan dan Tersangka melalui Kuasa Hukumnya atau menciptakan saling kontrol antara sesama penegak hukum. Dalam negara hukum yang berusaha menegakkan supremasi hukum sangat diperlukan suatu lembaga kontrol yang independen yang salah satu tugasnya disimpan / mencermati terhadap sah tidaknya suatu penahanan, penahanan atau sah tidaknya penghentian penyidikan atau sah tidaknya alasan penghentian penuntutan suatu perkara pidana baik yang dilakukan secara resmi dengan mengeluarkan SP3 atau SKPPP (Devonering), apalagi yang dilakukan secara diam-diam.
Di samping itu diharapkan juga pihak Kepolisian dapat mengontrol kinerja Kejaksaan apakah perkara yang sudah dilimpahkan benar-benar diteruskan ke Pengadilan. Begitu juga pihak Kejaksaan diharapkan dapat mengontrol kinerja Kepolisian di dalam proses penanganan perkara pidana apakah perkara yang sudah ada di SPDP (P.16) ke Kejaksaan akhirnya oleh penyidikperkara tersebut benar-benar dilimpahkan ke Kejaksaan atau malah berhenti secara diam-diam.
Di dalam era supremasi hukum ini sudah siap dibangun budaya saling kontrol, antara semua komponen penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) agar kepastian hukum benar-benar dapat diberikan bagi mereka para pencari keadilan.